A.
Pengertian IPS
IPS merupakan suatu program pendidikan dan bukan
sub-disiplin ilmu tersendiri, sehingga tidak akan ditemukan baik dalam
nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial (social science), maupun
ilmu pendidikan (Sumantri. 2001:89). Social Scence Education Council (SSEC) dan
National Council for Social Studies (NCSS), menyebut IPS sebagai “Social Science
Education” dan “Social Studies”. Dengan kata lain, IPS mengikuti cara pandang
yang bersifat terpadu dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi,
ilmu politik, ilmu hukum, sejarah, antropologi, psikologi, sosiologi, dan
sebagainya
Dalam bidang pengetahuan sosial, ada banyak istilah.
Istilah tersebut meliputi : Ilmu Sosial (Social Sciences), Studi Sosial (Social
Studies) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
1. Ilmu
Sosial (Sicial Science)
Achmad Sanusi memberikan batasan tentang
Ilmu Sosial (Saidihardjo,1996.h.2) adalah sebagai berikut: “Ilmu Sosial terdiri
disiplin-disiplin ilmu pengetahuan sosial yang bertarap akademis dan biasanya
dipelajari pada tingkat perguruan tinggi, makin lanjut makin ilmiah”.
Menurut Gross (Kosasih Djahiri,1981.h.1),
Ilmu Sosial merupakan disiplin intelektual yang mempelajari manusia sebagai
makluk sosial secara ilmiah, memusatkan pada manusia sebagai anggota masyarakat
dan pada kelompok atau masyarakat yang ia bentuk.
Nursid Sumaatmadja, menyatakan bahwa Ilmu
Sosial adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia
baik secara perorangan maupun tingkah laku kelompok. Oleh karena itu Ilmu Sosial adalah ilmu yang mempelajari tingkah
laku manusia dan mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
2. Studi
Sosial (Social Studies).
Perbeda dengan Ilmu Sosial, Studi Sosial bukan merupakan
suatu bidang keilmuan atau disiplin akademis, melainkan lebih merupakan suatu
bidang pengkajian tentang gejala dan masalah social. Tentang Studi Sosial ini,
Achmad Sanusi (1971:18) memberi penjelasan sebagai berikut : Sudi Sosial tidak
selalu bertaraf akademis-universitas, bahkan merupakan bahan-bahan pelajaran
bagi siswa sejak pendidikan dasar.
3.
Pengetahuan Sosial (IPS)
Harus diakui bahwa ide IPS berasal dari
literatur pendidikan Amerika Serikat. Nama asli IPS di Amerika Serikat adalah
“Social Studies”. Istilah tersebut pertama kali dipergunakan sebagai nama
sebuah komite yaitu “Committee of Social Studies” yang didirikan pada tahun
1913. Tujuan dari pendirian lembaga itu adalah sebagai wadah himpunan tenaga
ahli yang berminat pada kurikulum Ilmu-ilmu Sosial di tingkat sekolah dan
ahli-ahli Ilmu-ilmu Sosial yang mempunyai minat sama.
Konsep
pendidikan IPS di Indonesia dan perkembangannya
Menurut Udin S. Winataputra (2009: 1.39),
perkembangan social studies melukiskan bagaimana pada dunia
persekolahan telah menjadi dasar ontologi dari suatu sistem pengetahuan
terpadu, yang secara etistimologis telah mengarungi suatu perjalanan pemikiran
dalam kurun waktu 60 tahun lebih yang dimotori dan diwadahi oleh NCSS (National
Council for the Social Studies) sejak tahun 1935. Pemikiran tersebut
secara tersurat dan tersirat merentang dalan suatu kontinum gagasan “social
studies” Edgar Bruce Wesley (1935) sampai kegagasan “social studies” terbaru
dari NCSS tahun 1994.
Pemikiran mengenai
konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran social
studies di Amerika Serikat yang kita anggap sebagai salah satu negara
yang memiliki pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam
bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai
bidag itu seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis antara lain
diplubikasikan oleh NCSS sejak pertemuan organisasi tersebut untuk pertama
kalinya tanggal 28-30 November 1935 sampai sekarang. Untuk menelusuri
perkembangan pemikiran atau konsep pendidikan IPS di Indonesia secara historis
epistemologis terasa sangat sukar karena dua alasan. Pertama, di
Indonesia belum ada lembaga profesional bidang pendidikan IPS setua dan sekuat
pengaruh NCSS. Lembaga serupa yang dimiliki Indonesia, yakni HISPIPSI (Himpunan
Sarjana Pendidiksn IPS Indonesia) usianya masih sangat muda dan poduktifitas
akademisnya masih belum optimal, karena masih terbatas pada pertemuan tahunan
dan konumikasi antar anggota secara insidental. Kedua, perkembangan
kurikulum dam pembelajaran IPS sebagai ontologi ilmu pendidikan (disiplin) IPS
sampai saat ini sangat tergantung pada pemikiran individual dan atau kelompok
pakar yang ditugasi secara insidental untuk mengembangkan perangkat kurikulum
IPS melalui Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud
(PUSKUR). Pengaruh akademis dari komunitas ilmiah bidang ini terhadap
pengembangan IPS tersebut sangatlah terbatas, sebatas yang tersalur melalui
anggotanya yang kebetulan dilibatkan dalam berbagai kegiatan tersebut. Jadi
sangat jauh berbeda dengan peranan dan kontribusi Social Studies Curriculum
Task Force-nya NCSS, atau SSEC di Amreika.
Oleh karena itu,
perkembangan pemikiran mengenai pendidikan IPS di Indonesia akan ditelusuri
dari alur perubahan kurikulum IPS daam dunia persekolahan, dikaitkan dengan
beberapa konten pertemuan ilmiah adan penelitian yang relevan di bidang itu.
Istilah IPS (Ilmu
Pengetahuan Sosial), sejauh yang dapat ditelusuri, untuk pertama kalinya muncul
dalam Seminar Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo.
Menurut Laporan Seminar tersebut ada tiga istilah yang muncul dan
digunakan secara bertukar pakai yakni “pengetahuan social, studi social, dan
Ilmu Pengetahuan Sosial” yang diartikan sebagai suatu studi masalah-masalah
social yang dipilih dan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan
interdisipliner dan bertujuan agar masalah-masalah social itu dapat dipahami
siswa. Dengan demikian, para siswa akan dapat menghadapi dan memecahkan masalah
sosila sehari-hari. Pada saat itu, konsep IPS tersebut belum masuk ke dalam
kurikulum sekolah, tetapi baru dalam wacana akademis yang muncul dalam seminar
tersebut. Kemunculan istilah tersebut bersamaan dengan munculnya istilah Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) dalam wacana akademis pendidikan Sains. Pengertian IPS
yang disepakati dalam seminar tersebut dapat dianggap sebagai pilar
pertama dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS. Berbeda dengan
pemunculan pengertian social studies dari Edgar Bruce Wesley yang segera dapat
respon akademis secara meluas dan melahirkan kontroversi akademik, pemunsulan
pengertian IPS dengan mudah dapat diterima dengan sedikit komentar.
Konsep IPS untuk
pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan pada tahun 1972-1973, yakni
dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Hal
ini terjadi karena, barangkali kebetulan beberapa pakar yang menjadi pemikir
dalam Seminar Civic Education di Tawangmangu itu, seperti Achmad Sanusi, Noeman
Soemantri, Achmad Kosasih Djahiri, dan Dedih Suwardi berasal dari IKIP Bandung,
dan pada pengembangan Kurikulum PPSP FKIP Bandung berperan sebagai anggota tim
pemnegmbang kurikulum tersebut. Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan
istilah “Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial” sebagai mata pelajaran
social terpadu. Penggunaan garis miring nampaknya mengisyaratkan adanya
pengaruh dari konsep pengajaran social yang awalaupun tidak diberi label IPS,
telah diadopsi dalam Kurikulum SD tahun 1968. Dalam Kurikulum tersebut
digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang di dalamnya tercakup sejarah
Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai Pengetahuan
Kewargaan Negara. Oleh karena itu, dalam kurikulum SD PPSP tersebut, konsep IPS
diartikan sama dengan Pendidikan Kewargaan Negara. Penggunaan istilah Studi
Sosial nampaknya dipengaruhi oelh pemikiran atau penafsiran Achmad Sanusi yang
pada tahun 1972 menerbitkan sebuah manuskrip berjudul “Studi Sosial: Pengantar
Menuju Sekolah Komprehensif”.
Sedangakn dalam
Kurikulum Sekolah Menengah 4 tahun, dugunakan tiga istilah yakni (1) Studi
Sosial sebagai mata pelajaran inti untuk semua siswa dan sebagai bendera untuk
kelompok mata pelajaran social yang terdiri atas geografi, sejarah, dan ekonomi
sebagai amat pelajaran major pada jurusan IPS; (2) Pendidikan Kewargaan Negara
sebagai mata pelajaran inti bagi semua jurusan; dan (3) Civics dan Hukum
sebagai mata pelajaran major pada jurusan IPS.
Kurikulum PPSP
tersebut dapat dianggap sebagai pilar kedua dalam perkembangan pemikiran
tentang pendidikan IPS, yakni masuknya kesepakatan akademis tentang IPS ke
dalam kurikulum sekolah. Pada tahap ini, konsep pendidikan IPS diwujudkan dalam
tiga bentuk yakni, (1) pendidikan IPS terintegrasi dengan nama Pendidikan
Kewargaan Negara/Studi Sosial; (2) pendidikan IPS terpisah, dimana istilah IPS
hanya digunakan sebagai patung untuk mata pelajaran geografi, sejarah dan
ekonomi; dan (3) pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk pendidikan IPS
khusus.
Konsep pendidikan IPS
tersebut kemudian memberi inspirasi terhadap Kurikulum 1975, yang emang dalam
banyak hal mengadopsi inovasi yang dicoba melalui Kurikulum PPSP. Di dalam
Kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil, yakni: (1) Pendidikan
Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk
pendidikan IPS khusus yang mewadai tradisi citizenship traansmission; (2)
Pendidikan IPS terpadu untuk Sekolah Dasar; (3) Pendidikan IPS terkonfederasi
untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungimata
pelajaran Geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi; dan (4) Pendidikan IPS
terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi
untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG (Dep. P dan K,1975a; 1975b,
1975c; dan 1976). Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan dalam
kurikulum 1984, yang memang secara konseptual merupakan penyempurnaan dari
kurikulum 1975. Penyempurnaan yang dilakukan khususnya dalam aktualisasi
materi yang disesuaikan dengan perkembangan baru dalam masing-masing disiplin,
seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) sebagai
materi pokok Pendidikan Moral Pancasila. Sedang konsep pendidikan IPS itu
sendiri tidak mengalami perubahan yng mendasar.
Dengan berlakunya
Undang-Undang No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam wacana
pendidikan IPS muncul dua bahan kajian kurikuler pendidikan Pancasila dan
pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian ketika ditetapkannya Kurikulum 1994
mnggantikan kurikulum 1984, kedua bahan tersebut dilembagakan menjadi satu
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Secara konseptual
mata pelajaran ini masih tetap merupakan bidang pendidikan IPS yang khusus
mewadai tradisi citizenship transmissiondengan muatan utama
butir-butir nilai Pancasila yang diorganisasikan dengan menggunakan
pendekatan spiral of concept development ala Taba (Taba:1967)
dan expanding environmentapproach” ala Hanna (Dufty; 1970) dengan
bertitik tolak dari masing-masing sila Pancasila.
Di dalam Kuikulum
1994 mata pelajaran PPKn merupakan pelajaran social khusus yang wajib diikuti
oleh semua siswa setiap jenjang pendidikan (SD, SLTP, SMU). Sedangkan mata
pelajaran IPS diwujudkan dalam: pertama, pendidikan IPS terpadu di SD
kelas III s/d kelas VI; kedua, pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang
mencakup materi geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi dan ketiga, pendidikan
IPS terpisah-pisah yang mirip dengan tradisi in social studies taught as social
science menurut Barr dan kawan-kawan (1978). Di SMU ini bidang pendidikan IPS
terpisah-pisah terdiri atas mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di
kelas I dan II; Ekonomi dan Geografi di kelas I dan II; Sosiologi di kelas II;
Sejarah Budaya di kelas III Program Bahasa; Ekonomi, Sosiologi, Tata Negara,
Dan Antropologi di kelas III Program IPS.
Dilihat dari
tujuannya, setiap mata pelajaran social memiliki tujuan yang bervariasi. Mata
pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum bertujuan untuk”….menanamkan
pemahaman tentang perkembangan masyarakat masa lampau hingga masa kini,
menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta rasa bangga sebagai warga
bangsa Indonesia, dan memperluas wawasan hubungan masyarakat antar bangsa di
dunia” (Depdikbud, 1993: 23-24). Dimensi tujuan tersebut pada dasarnya
mengandung esensi pendidikan kewarganegaraan atau tradisi “citizenship
transmission” (Barr, dan kawan-kawan: 1978). Mata pelajaran Ekonomi
bertujuan untuk memberikan pengetahuan konsep-konsep dan teori sederhana dan
menerapkannya dalam pemecahan masalah-masalah ekonomi yang dihadapinya secara
kritis dan objektif (Depdikbud, 1993:29). Sedang untuk program IPS mata
pelajaran Ekonomi bertujuan untuk “….memberikan bekal kepada siswa mengenal
beberapa konsep dan teori ekonomi sederhana untuk menjelaskan fakta, peristiwa,
dan masalah ekonomi yang dihadapi” (Depdikbud, 1993: 29). Dari rumusan
tujuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa tujuan pendidikan Ekonomi di SMU baik
untuk program umum maupun untuk program IPS mengisyaratkan diterapkannya
tradisi social studies taught as social science ( Barr, dan kawan-kawan: 1978).
Tradisi ini
tampaknya diterapkan juga dalam mata pelajaran Sosiologi, Geografi, Tata
Negara, Sejarah budaya dan Antropologi sebagai mana dapat dikaji dari
masing-masing tujuannya. Mata palajaran Soaiologi memiliki tujuan “…untuk
memberikan kemampuan memahami secara kritis berbagai persoalan dalam kehidupan
sehari-hari yang muncul seiring dengan perubahan masyarakat dan budaya,
menanamkan kesadaran perlunya sosial budaya sesuai dengan kedudukan, peran,
norma, dan nilai sosial yang berlaku di masyarakat” (Depdikbud, 1993: 30).
Sementara itu mata pelajaran kemampuan dan sikap rasional yang bertanggung
jawab dalam menghadapi gejala alam dan kehidupan di muka bumi serta
permasalahannya yang timbul akibat interaksi antara manusia dengan
lingkungannya” (Depdikbud, 1993: 30). Sedangkan mata pelajaran Tata negara
menggariskan tujuan”…untuk meningkatkan kemampuan agar siswa memahami
penyelenggaraan negara sesuai dengan tata kelembagaan negara, tata peradilan
negara sesuai dengan tata kelembagaan negara, tata peradilan, sistem
pemerintahan Negara RI maupun negara lain” (Depdikbud, 1993: 31).
Hal yang juga tampak
sejalan terdapat dalam rumusan tujuan mata pelajaran Sejarah Budaya yang
menggariskan tujuannya untuk menanamkan pengertian adanya keterkaitan
perkembangan budaya masyarakat pada masa lampau, masa kini dan masa mendatang
sehingga siswa menyadari dan menghargai hasil dan nilai budaya pada masa lampau
dan masa kini (Depdikbud, 1993: 31). Demikian juga dalam tujuan mata pelajaran
Antropologi yang dengan tegas diorentasikan pada upaya untuk memberikan
pengetahuan mengenai proses terjadinya kebudayaan, pemanfaatan dan
perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari; menanamkan kesadaran perlunya
menghargai nilai-nilai budaya suatu bangsa, terutama bangsa sendiri, dan pada
akhirnya dimaksudkan juga untuk menanamkan kesadaran tentang peranan kebudayaan
dalam perkembangan dan pembangunan masyarakat serta dampak perubahan kebudayaan
terhadap kehidupan masyarakat (Depdikbud, 1993: 33).
Bila disimak dari
perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai
dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep
pendidikan IPS, yakni: pertama, pendidikan IPS di Indonesia yang diajarkan
dalam tradisi “citizenship transmission” dalam bentuk mata pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua,
pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi social science dalam bentuk
pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP, dan yang
terintegrasi di SD.
Dalam pembahasannya
tentang “Perspektif Pendidikan Ilmu (Pengetahuan) Sosial”, Achmad Sanusi (1998)
dalam konteks pembahasannya yang sangat mendasar mengenai pendidikan IPS di
IKIP, menyinggung sekidit tentang pengajaran IPS di sekolah. Sanusi (1998:
222-227) melihat pengajaran IPS di sekolah cenderung menitikberatkan pada
penguasaan hafalan; proses pembelajaran yang terpusat pada guru; terjadinya banyak
miskonsepsi; situasi kesal yang membosankan siswa; ketidaklebihunggulan guru
dari sumber lain; ketidakmutahiran sumber belajar yang ada; sistem ujian yang
sentralistik; pencapaian tujuan kognitif yang “mengelit-bawang”; rendahnya rasa
percaya diri siswa sebagai akibat dari amat lunaknya isi pelajaran, kontradiksi
materi dengan kenyataan,dominannya latihan berfikir taraf rendah, guru yang
tidak tangguh, persepsi negatif dan prasangka buruk dari masyarakat terhadap
kedudukan dan peran ilmu sosial dalam pembangunan masyarakat. Oleh karena itu,
Sanusi (1998) merekomendasikan perlunya reorientasi pengembangan yang mencakup
peningkatan mutu SDM dalam hal ini guru agar lebih mampu mengembangkan
kecerdasan siswa lebih optimal melalui variasi interaksi dan pemanfaatan media
dan sumber belajar yang lebih menantang. Bersamaan itu perlu diperlukan upaya
peningkatan dukungan sarana dan prasarana serta insentif yang fair. Dalam
dimensi konseptual, Sanusi (1998: 242-247) menyarankan perlunya batasab yang
jelas mengenai tujuan dan konten pendidikan ilmu sosial untuk berbagai jenjang
pendidikan, termasuk di dalamnya pola pemilihan dan pengoranisasian tema-tema
pembelajaran yang dinilai lebih esensial dan sesuai dengan kebutuhan dan
tuntutan perubahan dalam masyarakat.
Dimensi konseptual
mengenai pendidikan IPS tampaknya telah berulang kali dibahas dalam rangkaian
pertemuan ilmiah yakni Pertemuan HISPIPSI pertama tahun 1989 di Bandung, Forum
Komunikasi Pimpinan FPIPS di Yogyakarta tahun 1991, di Padang tahun 1992, di Ujung
Pandang tahun 1993, Konvensi Pendidikan kedua di Medan tahun 1992. Salah satu
marei yang selalu menjadi agenda pembahasan adalah mengenai konsep PIPS. Dalam
pertemuan Ujung Pandang tahun 1993, M. Numan Somantri selaku pakar dan Ketua
HISPIPSI (Somantri: 1993) kembah menegaskan adanya dua versi PIPS sebagaimana
dirumuskan dalam Pertemuan Yogyakarta tahun 1991, sebagai berikut:
“Versi PIPS Untuk Pendidikan Dasar
dan Menengah:
PIPS adalah penyederhanaan, adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu
sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia, yang diorganisasi dan
disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan”.
“Versi PIPS Untuk HIPS dan Jurusan
Pendidikan IPS-IKIP:
PIPS adalah seleksi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora
serta kegiatan dasar manusia yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan
psikologi untuk tujuan pendidikan”.
Kelihatannya HISPIPSI ingin
mencoba menjernihkan pengertian PIPS dengan cara menggunakan label yang sama,
yakni PIPS tetapi dengan dua versi pengertian, yakni pengertian PIPS untuk
pendidikan persekolahan dan untuk pendidikan tinggi untuk guru IPS di
IKIP/STKIP/FKIP. Dari dua versi pengertian itu, yang membedakan adalah dalam
format sistem pengetahuannya. Untuk dunia persekolahan merupakan
penyederhanaan, atau sama dengan gagasan Wesley (1937) dengan konsep “social
sciences simplifield …”, sedang untuk pendidikan guru IPS berupa seleksi.
Namun, rasanya perbedaannya tidak begitu jelas, kecuali seperti dikatakan oleh
Somantri (1993: 8)dalam tingkat kesukarannya sesuai dengan jenjang
pendidikan itu, yakni di dunia persekolahan disesuaikan dengan tingkat
perkembangan anak, sedang di perguruan tinggi disesuaikan dengan taraf
pendidikan tinggi. Penjelasan ini menurut penulis terkesan bersifat tautologis.
Kedua versi pengertian PIPS tersebut masih dipertahankan sampai dalam Petermuan
Terbatas HISPISI di Universitas Terbuka Jakarta tahun 1998 (Somantri, 1998 : 5-
6), dan disepakati akan menjadi salah satu esensi dari “position paper” HISPIPSI
tentang Disiplin PIPS yang akan diajukan kepada LIPI.
Jika dilihat dari pokok- pokok
pikiran yang diajukan oleh Numan Soemantri selaku ketua HISPIPSI ( Somantri:
1998) Position Paper itu akan menyajikan penegasan mengenai kedudukan PIPS
sebagai synthetic discipline atau menurut Hartonian (1992) sebagai integrated
system of knowledge. Oleh karena itu, PIPS untuk tingkat perguruan tinggi
pendidikan guru IPS, direkonseptualisasikan sebagai pendidikan disipln ilmu
sehingga menjadi pendidikan Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial disingkat menjadi
PDIPS. Dengan demikian kelihatannya HISPIPSI akan memegang dua konsep, yakni
konsep PIPS untuk dunia persekolahan, dan konsep PDIPS untuk perguruan tinggi
pendidikan guru IPS. Yang masih perlu dikembangakan adalah logika internal atau
struktur dari kedua sistem pengetahuan tersebut. Dengan demikian masing-masing
memiliki jati diri konseptual yang unik dann dapat dipahami lebih jernih.
Tentang kedudukan PIPS/PDIPS dalam
konteks yang lebih luas tampaknya cukup prospektif Misalnya, Dalam (1997)
melihat PIPS sebagai upaya strategis pembangunan manusia seutuhnya untuk
menghadapi era globalisasi. Sementara itu Tsauri (1997:1) yang mengutip
pemikiran Affian ketika mengenang tokoh LIPI Profesor Darwono Prawirohardjo, melihat
peranan PIPS dalam perspektif perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
Indonesia, yang seyogyanya memusatkan perhatian pada upaya pengembangan
disiplin yang kuat, ketekunan yang luar biasa, integritas diri yang kukuh,
wibawa yang mantap, rasa tanggung jawab yang tinggi, dan pengabdian yang dalam.
Dilihat dari perkembangan
permikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah
dalam dua arah, yakni : Pertama, PIPS untuk dunia persekolahan yang pada
dasarnya merupakan penyederhaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang
diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan pesekolahan; dan
kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yag pada daarnya
merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta
psiko-pedagogis dari limu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang
relevan, untuk tujuan pendidikan profesional guru IPS. PIPS merupakan salah
satu konten dalam PDIPS.
PIPS untuk dunia persekolahan
terpilah menjadi dua versi atau tradisi akademik pedagogis yakni : pertama,
PIPS dalam tradisi “citizenship transmission” dalam bentuk mata pelajran
pendidikan Pancasiala dan Kewarganegaraan dan Sejarah Indonesia; dan kedua PIPS
dalam tradisi “social science” dalam bentuk mata pelajaran IPS Terpadu
untuk SD, dan mata pelajaran IPS Terkonfederasi untuk SLTP, dan IPS
terpisah-pisah untuk SMU. Kedua tradisi PIPS tersebut terikat oleh suatu visi
pengembangan manusia indonesia seutuhnya sebagaimana digariskan dalam GBHN dan
UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam konteks perkembangan
pendidikan “social studies” di Amerika atau “Pendidikan IPS” di
Indonesia konsep dan praksis pendidikan demokrasi yang dikemas sebagai
“citizenship education” atau “Pendidikan Kewarganegaraan” berkedudukan
sebagai salah satu dimensi dari tujuan, konten dan proses social studies atau
“pendidikan IPS”, atau dapat juga dikatakan bahwa pendidikan demokrasi
merupakan salah satu subsistem dalam sistem pembelajaran “social studies”
atau “Pendidikan IPS”. Walaupun demikian, subsistem pendidikan demokrasi ini
sejak awal perkembangannya, seperti di Amerika sudah menunjukkan keunikan dan
kemandiriannya sebagai program pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan
warga negara yang cerdas dan baik. Subsistem ini, sejalan dengan perkembangan
konsep dan praksisi demokrasi, terus berkembang sebagai suatu bidang
kajian dan program pendidikan yang dikenal dengan citizenship education atau
civic education, atau unuk Indonesia dikenal dalam label yang berubah
– ubah mulai dari Civics, Kewargaan Negara, Pendidikan Kewargaan Negara,
Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewargenagaraan, dan
Pendidikan Kewarganegaraan.
Bidang kajian dan program
pendidikan demokrasi dalam bentuk kemasan “Citizenship education” maupun
“Civic Education” atau pendidikan kewarganeraan ini, kini kelihatan
semakin banyak dikembangkan baik di negara demokrasi yang sudah maju muupun
negara yang sedang merintis atau meningkatkan diri kearah itu. Hal itu sejalan
dengan berkembangnya proses demokratisasi yang kini telah menjadi gerakan
sosial-politik dan sosial-budaya yang mendunia.
DAFTAR PUSTAKA
Ischak, dkk. 2005. Pendidikan IPS di SD. Jakarta:
Universitas Terbuka
Muhammad Numan Soemantri. 2001. Menggagas Pembaharuan
Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya
Sapriya. 2009. Pendidikan IPS Konsep dan Pembelajaran.
Bandung: Remaja Rosdakarya
Udin S. Winataputra.2009. Materi
dan Pembelajaran IPS SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
www.google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar